Upaya Awal Penyatuan Indonesia Pascakemerdekaan di Konferensi Malino 1946

Kamis, 24 Juli 2025 08:59 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Konferensi di Malino yang melibatkan 39 pihak dari Kalimantan (Borneo), \x22Grote Oost\x22 (selanjutnya menjadi Negara Indonesia Timur), dan Belanda, dipimpin oleh Van Mook, untuk membicarakan pembentukan Negara Indonesia Serikat
Iklan

Konferensi itu cara paya Belanda membentuk negara federal di Indonesia agar republik melemah.

Gejolak Pasca Perang Dunia II

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 berdiri di atas kekosongan kekuasaan setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Namun, kekosongan itu segera diisi oleh dua kekuatan besar: Sekutu (terutama Inggris di Asia Tenggara) dan Belanda melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration).

Belanda, yang habis-habisan terpuruk selama pendudukan Nazi di Eropa, bertekad merebut kembali ‘mutiara timur’ mereka: Hindia Belanda. Tetapi peta dunia berubah: suasana pasca perang menuntut Belanda tampil ‘modern’ — tidak lagi menjajah terang-terangan, melainkan dengan konsep federalisme dan ‘kemitraan’.

Inilah yang membuat Van Mook, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, merumuskan ide federalisme — memecah Republik Indonesia dengan membentuk negara-negara bagian di luar Jawa-Sumatra. Strategi ini memanfaatkan realitas Indonesia yang beragam suku, agama, dan kepentingan lokal.

Mengapa Malino?

Malino, sebuah kota kecil di pegunungan sekitar 70 km dari Makassar, dipilih karena suasananya tenang, aman dari pergolakan revolusi di Jawa dan Sumatra. Selain itu, Sulawesi Selatan adalah basis loyalis Belanda sejak era kolonial, khususnya para bangsawan dan raja-raja lokal yang mendapat posisi penting dari pemerintahan Hindia Belanda.

Di sinilah Van Mook melihat celah: elite lokal bisa digandeng untuk mendukung pembentukan negara bagian sebagai tandingan Republik Indonesia.

Tokoh-Tokoh Kunci

  1. Hubertus Johannes van Mook
    Arsitek utama Konferensi Malino. Ia meyakini bahwa Hindia Belanda tidak lagi bisa dikuasai secara langsung. Federalisme baginya adalah jalan tengah untuk mempertahankan dominasi Belanda.

  2. Tokoh Daerah
    Di antara peserta tercatat nama-nama bangsawan dan kepala daerah dari Sulawesi, Maluku, dan Kalimantan, seperti Sultan Kutai dan beberapa raja di Sulawesi Selatan. Sebagian hadir karena kepentingan politik lokal — beberapa ingin mempertahankan status bangsawan, lainnya berharap otonomi yang lebih luas.

  3. Tokoh Penentang
    Meski mayoritas mendukung rencana federal, ada segelintir tokoh lokal yang secara diam-diam menolak, namun terpaksa hadir karena tekanan Belanda.

Jalannya Konferensi

Konferensi Malino berlangsung di Hotel Malino Resort (sekarang masih menjadi lokasi bersejarah). Suasana berlangsung tertib — dijaga ketat tentara Belanda. Agenda resmi: mendengar aspirasi perwakilan daerah, membicarakan future governance Indonesia Timur dan Kalimantan.

Namun, substansinya diarahkan: para peserta diarahkan untuk menandatangani kesepakatan pembentukan negara bagian. Tidak sedikit yang hadir dengan persetujuan ‘terpaksa’ — beberapa peserta mengaku hanya membacakan naskah yang sudah disiapkan pejabat Belanda.

Hasilnya: Konferensi menyetujui pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) dan Negara Kalimantan yang akan tergabung dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) di bawah Uni Indonesia-Belanda.

Dampak Langsung

  • Konferensi Denpasar (Desember 1946):
    Merupakan kelanjutan konkret dari Malino, di sinilah Negara Indonesia Timur resmi berdiri pada 24 Desember 1946 dengan presiden pertamanya, Tjokorda Gde Raka Soekawati.

  • Republik Indonesia Serikat (RIS):
    Bentukan final dari skema federal ini terwujud lewat Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949. RIS hanya bertahan beberapa bulan karena rakyat di berbagai negara bagian menuntut bergabung dengan NKRI.

Reaksi Republik Indonesia

Bagi Republik Indonesia, Konferensi Malino adalah ancaman serius. Pemerintah di Yogyakarta saat itu melihat rencana Belanda sebagai cara halus memecah belah kekuatan nasionalis. Sebagai respons, para pemimpin seperti Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir meningkatkan diplomasi internasional.

Mereka menggalang dukungan Amerika Serikat, India, Mesir, dan negara-negara Liga Arab agar mengakui Republik sebagai satu-satunya pemerintahan sah. Ini menjadi penopang moral di tengah agresi militer Belanda yang diluncurkan pada 1947 dan 1948.

Implikasi Jangka Panjang

Meskipun gagal di tujuan akhirnya, Konferensi Malino menorehkan jejak penting:

  1. Warisan Federalisme:
    Skema federal yang ‘dipaksakan’ Belanda terbukti tidak berakar kuat. Namun wacana otonomi daerah berkembang menjadi pelajaran berharga ketika Indonesia kelak merumuskan desentralisasi lewat UU Otonomi Daerah.

  2. Kesadaran Kolektif Persatuan:
    Banyak rakyat di luar Jawa-Sumatra justru semakin solid mendukung NKRI setelah menyadari federalisme Belanda hanyalah topeng. Penolakan terhadap ‘negara boneka’ inilah yang memperkuat integrasi nasional.

  3. Peninggalan Sejarah:
    Hotel Malino dan kota Malino kini menjadi situs bersejarah, meski tidak sepopuler medan diplomasi lain seperti Linggarjati atau KMB. Namun di kalangan sejarawan, Malino adalah contoh awal diplomasi pecah belah yang gagal total.

Penutup

Konferensi Malino 1946 membuktikan bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah, melainkan buah dari perjuangan bersenjata, diplomasi, dan semangat persatuan rakyat di seluruh Nusantara. Skema federalisme Belanda runtuh karena rakyat Indonesia punya visi bersama: satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa persatuan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Harrist Riansyah

Penulis Indonesiana

80 Pengikut

img-content

Strategi Pertumbuhan Konglomerat

Senin, 25 Agustus 2025 08:46 WIB
img-content

Riwayat Pinjaman Anda dalam BI Checking

Kamis, 21 Agustus 2025 22:45 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler